Inovasi dan Percepatan Literasi Digital Menyongsong Abad 21

 

*) Oleh Muhammad Zaini
Apr 16 2025 08.35 Wib. Opini

 

Belum lama Abdul Mu’ti dilantik oleh Presiden Prabowo-Gibran sebagai Mendikdasmen, melontarkan pernyataan bahwa mata pelajaran Coding dan Artificial Intelligence (AI) akan menjadi mata pelajaran pilihan mulai dari jenjang sekolah dasar dan menengah (Jakarta Pusat, 2-2 2025). Tentu ini sebuah terobosan baru di satu sisi, dan menjadi tantangan tersendiri di sisi lain dalam konteks penerapannya di Indonesia. 


Ide baru ini adalah bermula dari sambutan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, yang disampaikan pada rapat koordinasi evaluasi pendidikan dasar dan menengah di kawasan Gandaria, Jakarta Selatan, Senin, 11 November 2024. Gibran menitip pesan kepada Abdul Mu’ti, bahwa dua subjek pelajaran Coding dan AI, harus mulai diajarkan pada jenjang Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau sederajat.

 

Jika itu benar terealisasi, maka perlu persiapan matang, supaya penerapannya optimal dan tidak kontraproduktif. Diakui Coding dan AI saat ini memang menjadi tren global. Di satu pihak, kecenderungan peminatan anak juga tinggi. Bahkan semacam menjadi kebutuhan primer bagi peningkatan literasi digital dan upaya melakukan percepatan dalam menghadapi tantangan abad 21. 


Di pihak lain, pemerintah harus memastikan penerapannya, dengan diupayakan ada penjenjangan yang berkelanjutan. Seperti sekolah-sekolah kejuruan yang memang sudah fokus pada kompetensi teknologi-informasi, harus ada linieritas dengan jenjang sekolah di bawahnya. Diharapkan tidak tumpang tindih (overlapping), sehingga outputnya benar-benar maksimal dan kompeten untuk menjadi harapan generasi digital yang handal di tengah tantangan global.

 

Saat ini, hal prinsip yang perlu dibenahi ketika Coding dan AI diajarkan mulai dari jenjang sekolah dasar adalah, menyiapkan guru sebagai pelaku utama pembelajaran di sekolah. Realitasnya, guru di beberapa sekolah masih banyak yang merasa terbebani dengan pemenuhan administrasi berbasis digital. Jika benar subjek Coding dan AI menjadi mata pelajaran pilihan mulai jenjang sekolah dasar, maka hal ini menjadi PR besar bagi pihak pemerintah agar guru memiliki kesadaran literasi digital yang baik. Seperti sekolah dasar di pelosok-pelosok desa, yang tidak mudah menjangkau dan beradaptasi cepat. 


Faktor penunjang yang memadai perlu disiapkan sedemikian rupa, seperti sarana, perubahan mindset, pengkondisian, keberlanjutan, serta sisi dampak negatif secara mental dan moral. Kalau sekolah di perkotaan, tentu tidak  serumit dibandingkan sekolah perdesaan. Di perkotaan, siswa dan guru dapat dipastikan lebih mudah beradaptasi, baik dari sisi mental dan moral muapun dalam pengupayaan percepatan dan perubahan mindset.

 

Mengupayakan Percepatan, Integrasi Moral dan Etika

 

Disadari atau tidak, percepatan pembelajaran pada jenjang sekolah dasar menjadi kebutuhan mendesak di era digital ini, terutama untuk mengatasi kesenjangan pemahaman siswa dan meningkatkan kualitas pembelajaran. Salah satu pendekatan inovatif yang dapat diterapkan adalah pembelajaran berbasis “Contextual and Digital Learning” yang memadukan pembelajaran kontekstual dan teknologi digital dan kecerdasan buatan (AI). 


Penerapan AI pada jenjang sekolah dasar memungkinkan guru untuk mengidentifikasi kesulitan belajar siswa secara lebih akurat, melalui sistem evaluasi otomatis dan data analitik. Di samping itu, kahadiran AI juga dapat mendorong diferensiasi pembelajaran dengan sumber-sumber yang variatif, seperti simulasi interaktif, video edukasi, dan kuis adaptif. Hal itu pula dapat membantu percepatan bagi siswa untuk penguasaan materi, melalui rekomendasi aktivitas belajar yang disesuaikan dengan profil atau latar bekalang siswa.

 

Persoalannya, adalah kesadaran masyarakat tentang AI sebagai alat bantu masih sangat rendah. Tidak sedikit ketika AI hadir di tengah masyarakat, semacam menjadi jalan pintas, bahkan AI diposisikan sebagai pengganti dari tugas inti yang sebenarnya. Semestinya, AI tidak lebih dari sekedar alat bantu, tanpa menegasikan nilai-nilai esensial pendidikan, sehingga proses-proses edukasi antara siswa dan guru tetap berjalan efektif dan tidak mengalami reduksi. 


Kerena itu, pembelajaran Coding dan AI perlu diintegrasikan dengan dimensi moral dan etika. Bagaimana dimensi moral dan etika ini terus diperkuat agar tidak keropos, sehingga guru dapat mengantisipasi hal-hal yang memungkinkan siswa melakukan penyalahgunaan. Nilai-nilai moral dan kemanusiaan tetap berdiri kokoh, dan inovasi barbasis digital juga berjalan seiring zamannya untuk mengakomodir kebutuhan dan percepatan proses belajar siswa.


Dalam kaitan ini, siswa perlu dibekali pemahaman tentang bagaimana menggunakan teknologi secara bijak, bertanggung jawab, sejalan dengan norma sosial dan tuntutan moral. Dalam pembelajaran Coding dan AI, integrasi aspek moral dan etika sangat membantu siswa untuk memahami tentang pentingnya menghormati privasi, keadilan, kejujuran, serta konsekuensi dari tindakan berbasis teknologi. 


Guru pun memiliki peran strategis sebagai fasilitator untuk membimbing siswa dan memahami hubungan antara teknologi dan nilai-nilai moral. Hal itu dapat dilakukan dengan cara memberi contoh konkret, membangun diskusi kritis, dan menerapkan kode etik digital (digital citizenship). Di sampin itu, guru mengembangkan karakter untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab siswa dalam menggunakan dan menciptakan teknologi. 


Melalui pendekatan ini, pembelajaran “Coding dan AI” di sekolah dasar tidak hanya meningkatkan literasi teknologi, tetapi juga membentuk generas yang cerdas secara digital, berintegritas, dan memiliki komitmen terhadap kebaikan bersama.

*) Muhammad Zaini, Guru, Penulis dan Penggerak Literasi.