Menyemai Kembali Penguatan Pendidikan Karakter

*) Oleh Muhammad Zaini
15 Apr 2025 06.00 Wib. Opini

Pendidikan harus selalu terbuka dengan gagasan baru. Siapapun yang ingin mengelola pendidikan dengan baik, maka ia harus open mind. Bahkan ia harus membuka ruang berpikir kritis dan menampung segala bentuk ragam ide dan gagasan. Pendidikan adalah pembuka jalan dari setiap keterbelengguan diri. Jurus pamungkasnya, pasti berujung pada pendidikan.

Ki Hadjar Dewantara (Jurnal Studi Islam, 2015) melambangkan pendidikan sebagai benih pembentukan karakter, kepribadian dan kepemimpinan. Manusia dapat menjadi pribadi yang terdidik, karena ia menjalani proses pendidikan dengan baik. Jiwa kepemimpinan juga dapat tumbuh, karena faktor pendidikan yang menjadi kesadaran penuh dalam berkehidupan. 

Pendidikan sebagai penguatan karakter, harus menjadi tumpuan utama untuk menyemai pribadi yang berbudi pekerti mulia. Saat ini banyak output pendidikan yang lebih dominan melahirkan kepintaran, tetapi melemah dan meluruh pada aspek karakter. Hanya pendidikan yang menjunjung tinggi kemuliaan budi pekerti yang dapat melahirkan anak bangsa yang berkepribadian dan berkarakter.

Marwah Pendidikan di Tengah Publik

Saat ini negara memiliki tugas berat untuk melakukan regenerasi yang dapat memangkas mata rantai praktik-praktik manipulatif dan koruptif. Pendidikan benar-benar mengalami degradasi moral dan kehilangan jangkar nilai. Sistem persekolahan, kini tidak lebih dari sekadar “payung hukum” untuk mencari legalitas berupa secarik kertas. Selebihnya, pendidikan hanya melahirkan manusia-manusia pragmatis dan instan.

Murid dalam sistem persekolahan, jauh dari sentuhan figur guru sebagai “role model”. Marwah sekolah pun menjadi pudar, bahkan jatuh serendah-rendahnya. Jika ada guru yang idealis ingin menegakkan budaya disiplin di sekolah, alih-alih mendapat apresiasi, justru hanya mendapat cibiran dan malah dipersekusi. Keadilan dan kebenaran terkubur oleh relasi kepentingan dan kedekatan personal.

Peristiwa-peristiwa seperti di atas, hampir tak terhitung, bahkan menjadi konsumsi harian publik. Kasus yang menimpa guru SMP Raden Rahmat Sidoarjo (2016), adalah peristiwa yang mengironiskan. Guru tersebut dituntut 6 bulan penjara, hanya mencubit lengan muridnya karena sering melalaikan untuk mengikuti kegiatan sholat Dhuha.

Kasus serupa, menimpa Syaifur Rahman Affandi (2017), guru Sekolah Dasar di Banyuwangi. Ia dihukum akibat memukul kaki murid menggunakan penggaris. Lagi-lagi karena ingin menegakkan kedisiplinan. Fenomena ini–terlepas dari niat guru yang sebenarnya–membuat dunia pendidikan sangat pilu. Betapa guru jauh dari perlindungan hukum, sehingga deretan peristiwa yang menimpa guru kerap berujung pada penjatuhan marwahnya.  

Pertanyaannya, bagaimana upaya penanaman pendidikan karakter di sekolah, masih mungkinkah? Kurikulum merdeka dirancang, agar porsi pendidikan karakter lebih dominan, namun praktiknya jauh dari harapan. Sebaliknya, praktik-praktik perundungan (bullying), tawuran, bahkan pembunuhan antarpelajar, justru semakin tidak terbilang. Pendidikan karakter semakin terkikis dan jauh dari kenyataan.

Disini, menjadi sebuah gambaran, bahwa pendidikan di Indonesia tengah menghadapi problem besar. Hal ini harus segera menemukan benang-merah, lebih dari sekadar persoalan otak-atik kurikulum. Krisis mental, peluruhan moral dan absennya kesadaran nilai, adalah terbentang nyata. Ada ungkapan peribahasa inggris ”When wealth is lost, nothing is lost; when health is lost, something is lost; when character is lost, everything is lost”.

Kehilangan yang sebenarnya, adalah ketika pendidikan karakter terkubur, sehingga semua bisa hilang tak bernilai. Lebih dari itu, eksistensi diri rapuh tak ada daya, bahkan kehilangan “dasar pijak” sebagai pribadi yang tangguh.   

Memulihkan Keterpurukan Karakter

Dunia pendidikan harus bisa bangkit dari keterpurukan mental dan moral. Dinamika dan problematika pasti selalu muncul, dan tantangan juga akan semakin beragam. Pendidikan yang menjadi lambang moral, nilai, dan budaya–paling tidak–harus menempatkan karakter sebagai garis tumpu. Jauh sebelum aspek kognitif ditargetkan, maka aspek kejiwaan dan karakter harus dibangun lebih kuat. 

Pemerintah melalui Kemendikdasmen harus menyusun formula baru, tentang bagaimana strategi penanaman karakter. Mulai dari pelatihan intensif guru, regulasi perlindungan guru, dan penyadaran masyarakat tentang persepsi penegakan disiplin di lingkungan sekolah. Bahkan, masyarakat juga perlu diberi ruang untuk terlibat dalam praktik pembelajaran dan pendisiplinan murid. 

Secara evolutif, masyarakat dapat diedukasi dan diberi layanan konseling agar ada perubahan–cepat atau lambat–tentang persepsi negatif dari program pendisiplinan di sekolah. Sebuah terobosan baru yang membanggakan, Mendikdasmen Abdul Mu’ti merencanakan, bahwa semua guru harus berperan sebagai konselor untuk membimbing, mendidik, membentuk, dan membangun karakter murid. 

Hal itu dapat menjadi arah penguatan pendidikan karakter. Merebaknya krisis moral yang tengah menimpa kaum terpelajar, harus menemukan jawaban. Problem kesulitan, penderitaan, pemulihan ekonomi, ketidakberdayaan, dan kenakalan remaja harus ada “titik solusi” dan diurai melalui formula pendidikan karakter yang dirancang sedemikian rupa.

Dengan demikian, penyemaian pendidikan karakter dapat disegarkan kembali sebagai strategi baru, yang dapat menjadi jembatan bagi Indonesia untuk menyiapkan generasi hebat, kuat dan penuh integritas. Pemerintah mengawal guru sebagai pendidik dalam sebuah regulasi perlindungan hukum, sehingga orangtua dan masyarakat dapat berpartisipasi aktif untuk menciptakan budaya disiplin dan penguatan karakter di lingkungan sekolah.

*) Muhammad Zaini, Penulis, Pendidik dan Penggerak Literasi