Menguji Efektivitas TKA sebagai Alat Ukur Kualitas Pendidikan di Era Digital
*) Oleh Muhammad Zaini
Ahad, 10 Agustus 2025 | 18.17 WIB | Artikel
Sistem evaluasi pembelajaran melalui Tes Kemampuan Akademik (TKA) yang kini akan diterapkan di tingkat pendidikan dasar dan menengah hadir sebagai upaya menyegarkan sistem penilaian pendidikan nasional. Di tengah tuntutan zaman yang semakin kompleks, TKA akan hadir sebagai cermin objektif terhadap capaian akademik murid dari berbagai wilayah di Indonesia.
Dalam konteks pembangunan pendidikan nasional, TKA dapat menjadi instrumen untuk menjangkau kekuatan dan kelemahan sistem pembelajaran pada setiap satuan pendidikan. Hasil TKA akan memungkinkan pemerintah pusat, daerah, dan sekolah mengambil kebijakan berbasis data secara lebih terukur. Jika dikelola secara serius dan transparan, maka TKA berpotensi menjadi elan vital dasar dalam reformasi pembelajaran yang lebih adaptif dan relevan dengan kebutuhan zaman.
Pergeseran dari sistem Ujian Nasional (UN) ke TKA tentu bukan sekadar perubahan format dan nama. UN selama bertahun-tahun dinilai terlalu menekankan pada penguasaan materi, dan kurang memberi ruang pada keterampilan berpikir tingkat tinggi. Kini TKA mencoba menyulam hal tersebut dengan pendekatan asesmen yang lebih kontekstual, dengan mengukur kemampuan bernalar, menyelesaikan masalah, serta memahami pengetahuan secara mendalam. Ini sangat sejalan dengan pendekatan “deep learning” yang menjadi ruh dalam Kurikulum Merdeka.
Dalam dunia yang mulai didominasi oleh kecerdasan buatan dan otomatisasi, kemampuan akademik tidak dapat hanya diukur dari kemampuan menghafal dan menguasai materi. Literasi digital, logika berpikir komputasional, dan kemampuan menyusun algoritma sederhana menjadi kompetensi baru yang sangat dibutuhkan. Oleh karena itu, asesmen seperti TKA harus mampu menangkap indikator kompetensi ini, dan menjadi pengarah dalam pengembangan kurikulum yang lebih prospektif.
Salah satu keunggulan TKA adalah fleksibilitasnya dalam pengembangan soal yang berbasis pada konteks lokal dan nasional. Hal ini memungkinkan murid dari berbagai daerah untuk mendapatkan pengalaman evaluasi yang adil dan merata, sekaligus mendorong pengembangan mutu pendidikan. Di sisi lain, perlu kepastian bahwa instrumen ini dapat dikelola oleh tenaga ahli yang memahami kompleksitas perkembangan murid dan peta kebutuhan pendidikan nasional.
Era coding dan kecerdasan buatan membawa tantangan baru bagi sistem pendidikan di Indonesia, yang tidak terpikirkan sebelumnya. Di sini, pentingnya TKA hadir tidak semata-mata sebagai alat ukur yang menghimpit kreativitas, melainkan sebagai wahana memetakan kompetensi adaptif bagi murid. Pendidikan tidak cukup mendidik murid untuk mengasah pengetahuan, melainkan juga dapat memacu mereka untuk berpikir kritis dan bertindak cermat dan tepat. TKA perlu terus disempurnakan agar mampu mencerminkan realitas tersebut.
Optimalisasi TKA Melalui Data dan Kolaborasi
Tidak dapat terelakkan, bahwa penguatan literasi data menjadi syarat utama efektivitas pelaksanaan TKA. Data hasil TKA harus diolah secara sistematis untuk menyusun kebijakan afirmatif, terutama bagi wilayah tertinggal atau satuan pendidikan yang mengalami kesenjangan capaian kualitas pendidikan. Pemerintah daerah dan sekolah dapat mengolah data tersebut, sebagai dasar untuk menyusun program remedial, penguatan guru, dan pengembangan materi ajar yang lebih sesuai dengan kebutuhan.
Dari sisi teknis, pendampingan dan pelatihan bagi guru menjadi aspek yang tidak boleh diabaikan. Guru harus memahami filosofi TKA sebagai teknik penyusunan soal higher-order thinking skills (HOTS), dan strategi analisis hasil asesmen. Tanpa penguatan kapasitas guru, pelaksanaan TKA boleh jadi kehilangan makna substantifnya, dan hanya menjadi rutinitas administratif belaka.
Di samping itu, TKA juga dapat menjadi jembatan sinergi antara pendidikan formal dan kebutuhan dunia industri. Misalnya, dalam bidang teknologi dan informatika, kemampuan logika, matematika terapan, serta problem solving sangat dibutuhkan. Jika desain soal TKA diarahkan ke pengukuran keterampilan-keterampilan semacam itu, maka TKA akan turut berkontribusi pada penciptaan lulusan yang siap menghadapi dinamika dunia kerja berbasis digital.
Perlu disadari, pendidikan tidak dapat berjalan dalam ruang hampa. Maka, keberhasilan TKA sangat bergantung pada ekosistem pendukungnya, mulai dari kesiapan infrastruktur digital, pelibatan komunitas sekolah, dan kebijakan alokasi anggaran yang berpihak pada penguatan mutu. Semua elemen ini harus berjalan beriringan, untuk memastikan bahwa TKA benar-benar menjadi akselerator kualitas pendidikan nasional.
Dalam implementasi jangka panjang, evaluasi berkala terhadap efektivitas TKA menjadi sebuah keniscayaan. Apakah ia betul-betul mampu menjadi alat diagnosis yang akurat? Apakah hasilnya digunakan untuk perbaikan yang menyeluruh? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu terus diajukan oleh para akademisi, praktisi pendidikan, dan pemangku kebijakan agar TKA tidak terjebak menjadi formalitas rutin semata.
Jika dikelola dengan pendekatan kolaboratif dan berbasis data, maka TKA berpotensi besar menjadi inovasi strategis dalam reformasi pendidikan nasional. Melalui pemetaan yang akurat terhadap capaian akademik murid, pendidikan Indonesia dapat lebih terarah, merata, dan mampu menjawab tantangan global di era teknologi. Pendidikan yang bermutu tidak lepas dari keberanian untuk berubah dan berbenah, dan TKA dapat menjadi pintu masuk menuju perubahan tersebut.
*) Muhammad Zaini, adalah guru SD Negeri Candi Burung 2 Proppo, Pamekasan