Guru di Era AI, Penjaga Nilai di Tengah Revolusi Digital

Oleh Muhammad Zaini
Pendidik,  Penulis dan  Pecinta Literasi
Jumat, 25 Juli 2025 | 09.12 WIB | Artikel

Di tengah kemajuan teknologi yang begitu pesat, khususnya kecerdasan buatan (AI), peran guru kini tengah diuji dan dipertanyakan. Apakah guru akan tergantikan oleh mesin pintar? Apakah pembelajaran akan sepenuhnya dikendalikan oleh algoritma? Pertanyaan-pertanyaan ini mengemuka, karena dalam realitas sehari-hari di kelas-kelas mulai dijejali chatbot, aplikasi pembelajaran otomatis, dan platform berbasis AI. Hal ini menjadi sebuah tantangan yang berdampak pada eksistensi, jati diri, dan masa depan profesi guru itu sendiri.

AI telah memasuki ruang-ruang pendidikan dengan berbagai bentuk, dari aplikasi koreksi otomatis esai, asisten pengajaran virtual, hingga sistem rekomendasi materi belajar yang adaptif. Bahkan teknologi ini menjanjikan efisiensi, personalisasi, dan keterjangkauan. Di balik kemudahan yang ditawarkan, muncul risiko dehumanisasi pembelajaran. Hubungan pedagogis antara guru dan murid, yang bersifat emosional, reflektif, dan penuh nilai, sulit digantikan oleh mesin. Inilah wilayah otentik yang dapat meneguhkan peran guru tetap tidak tergantikan.

Dalam konteks ini, guru dihadapkan pada dua pilihan, menjadi penonton dari revolusi teknologi, atau mengambil peran aktif sebagai agen transformasi pendidikan berbasis AI. Sayangnya, banyak guru yang belum mendapatkan akses, pelatihan, maupun literasi digital yang memadai untuk memahami dan memanfaatkan teknologi ini secara kritis. Di sinilah kebijakan pendidikan nasional perlu berpihak secara serius, tidak semata-mata menghadirkan perangkat, melainkan juga membekali guru dengan kompetensi berpikir reflektif, etis, dan kreatif dalam menggunakan AI.

AI dapat menjadi mitra pedagogis yang luar biasa jika dimanfaatkan dengan bijak. Guru dapat menggunakan AI untuk menganalisis data belajar siswa secara real-time dan efektif, merancang diferensiasi pembelajaran yang lebih akurat, serta mengidentifikasi area kesulitan siswa dengan presisi tinggi. Dengan demikian, waktu guru tidak lagi tersita oleh pekerjaan administratif atau koreksi manual, melainkan lebih terfokus pada relasi personal, bimbingan karakter, dan fasilitasi berpikir kritis.

Namun demikian, di balik itu semua ada risiko tinggi apabila AI hanya digunakan secara teknokratis, tanpa refleksi nilai. Ketika evaluasi pembelajaran hanya berdasarkan skor algoritma, ketika keberhasilan siswa ditentukan oleh kecocokan pola data, maka pendidikan kehilangan dimensi kemanusiaannya. Guru harus menjadi benteng terakhir yang memastikan bahwa teknologi, betapapun canggihnya, tetap berpihak pada nilai-nilai keadilan, empati, dan kemerdekaan belajar.

Tantangan lainnya adalah munculnya “AI fatigue” di kalangan guru dan siswa. Ketergantungan berlebihan pada sistem otomatisasi membuat proses belajar menjadi kaku, tidak menyentuh, dan penuh distraksi. Guru harus mampu merancang ekosistem belajar yang integratif, antara aspek digital dan nuansa dialogis yang didesain secara seimbang. Penggunaan teknologi harus diimbangi dengan ruang refleksi, diskusi terbuka, dan pengalaman langsung yang membangun makna. Dalam dunia yang serba virtual, kehadiran nyata guru menjadi oase yang menenangkan.

Lebih jauh, guru juga menghadapi dilema etika dalam penggunaan AI. Apakah boleh menggunakan sistem yang mengumpulkan data pribadi siswa? Bagaimana menjamin keadilan algoritmik agar semua siswa diperlakukan setara? Siapa yang bertanggung jawab ketika keputusan pedagogis dilakukan oleh mesin? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan perangkat lunak, melainkan dengan keberanian moral dan pemahaman etis dari para pendidik. Guru bukan hanya pengajar, lebih dari itu, ia juga penjaga nilai-nilai kemanusiaan dalam dunia digital.

Perubahan paradigma ini juga menuntut transformasi dalam pendidikan guru. Lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) tidak bisa lagi sekadar mengajarkan teori belajar dan manajemen kelas. Mereka perlu membekali calon guru dengan literasi AI, desain pembelajaran adaptif, serta kemampuan kolaboratif lintas disiplin. Guru masa depan adalah pengelola ekosistem belajar, bukan sekadar penyampai materi.

Di balik semua tantangan itu, tersimpan peluang besar. AI justru dapat membebaskan guru dari sekat-sekat birokrasi dan rutinitas mekanis. Guru dapat lebih fokus pada membangun relasi, memberdayakan potensi siswa, dan merancang pengalaman belajar yang otentik. Teknologi tidak harus menjadi ancaman, melainkan jembatan menuju pendidikan yang lebih manusiawi, personal, dan bermakna, selama dikawal oleh visi pedagogis yang kuat.

Maka pada Hari Guru ini, mari kita rayakan bukan hanya jasa dan keteladanan guru masa lalu, melainkan juga keberanian guru masa kini dalam menavigasi zaman baru. Zaman ketika papan tulis digantikan layar, buku digantikan data, dan kelas hadir dalam genggaman. Namun satu hal tetap tidak berubah, semangat mendidik, membimbing, dan mencerdaskan anak bangsa. Di tengah gempuran teknologi AI, guru tetap cahaya yang menuntun peradaban.