Kepergian Sang Kiai, Membuka Lembaran Perjuangan di Pesantren
*) Oleh Muhammad Zaini
19 Feb 2025 21.35 Wib. Feature
Pada selasa, 18 Februari 2025, K.H. Muqsith Idris telah masuk hari ke-5, dari wafatnya pada Kamis, 15 Sya’ban 1446 hijriyah. Saat itu, saya baru berkesempatan “takziyah” bersama rombongan para alumni Annuqayah angkatan 1998 dari Pamekasan. Terbayang di benak saya, pasti ribuan santri, alumni, simpatisan, tokoh masyarakat dan aparatur pemerintah, berkumpul bersama untuk mengumandangkan kalimat tahlil.
Setiap ulama’ pergi, selalu menyisakan rasa duka mendalam. Banyak yang mengenang, dan banyak pula yang merasa pilu, karena kehilangan. Apalagi Kiai Muqsith Idris ini, adalah seorang ulama’ yang mempunyai rekam jejak pengabdian cukup panjang di tengah masyarakat dan dunia pesantren. Pantas kalau semua berebut ingin menjadi bagian dari tetesan kebaikannya.
Saya beserta rombongan berangkat dari Pamekasan pukul 14.00 Wib yang direncanakan tiba di Annuqayah, tepat waktu sholat Ashar. Rombongan dipimpin oleh Cak Abdul Wahib, dan Cak Umar sebagai driver-nya. Perjalanan bersama-sama dinikmati dengan suasana tenang, sembari ngobrol “sana-sini” tentang banyak hal, mengingat masa-masa dahulu saat menjadi santri di Annuqayah.
Cak Abdul Wahib (khodam kiai Basyir Abdullah Sajjad, 1993-2005) yang lebih banyak membuka lembaran memori lama tentang kepesantrenan, seputar pertemanan, persaudaraan dan banyak cerita unik ia ungkap saat perjalanan menuju pesantren Annuqayah. Kiai Muqsith Idris–tutur Cak Wahib–termasuk kiai yang mempunyai keunikan, dalam istilah madura disebut “kajunèlan”. Istilah ini mempunyai padanan arti (sinonim) dengan “kesaktian” atau “keramat: baca karomah”, yaitu semacam ketajaman mata batin yang secara khusus dimiliki, di luar kebiasaan orang umum.
Memori Perjuangan di Pesantren
Setiba di lokasi Annuqayah–Cak Umar sengaja masuk dari daerah Lubangsa Tengah, karena alasan lokasi parkir lebih luas–saya melihat kerumunan santri dan masyarakat luas, tampak memenuhi berbagai sudut pesantren. Saat itu, terdengar lantunan dzikir santri sebagai tanda penanda shalat berjamaah akan segera dimulai. Saya serombongan dan beberapa alumni yang lain, ikut berjamaah sholat Ashar bersama para santri di masjid Jami’ Annuqayah yang bertempat di daerah Lubangsa Tengah.
Setelah itu, saya dan semua ribuan alumni menuju ke “tempat duka” keluarga Kiai Muqsith Idris di daerah Latee. Spontan saya sempat tertegun dan cukup emosi, teringat masa-masa nyantri dahulu yang penuh perjuangan menuntut ilmu. Bertepatan pula, acara tahlil digelar di Musholla Latee, tempat dahulu saya belajar, mengaji kitab sorogan, beribadah, dan berinteraksi dengan Kiai. Waktu itu, Pondok Pesantren Annuqayah Latee dibawah pengasuh K.H. Basyir Abdullah Sajjad, Allahu Yarham (wafat 15 Juli 2017 di usia 87 tahun).
Musholla Latee sore itu, penuh gegap gempita, para alumni datang dari berbagai penjuru Madura. Saya kebagian tempat duduk di depan serambi asrama santri, waktu dahulu saya nyantri sekitar 1992-1998, asrama tersebut bernama kampus Al-Farabi. Saat ini, entah namanya apa, mungkin saja sudah berubah. Suara kumandang tahlil oleh ribuan jamaah sangat teduh dan penuh khidmat. Luar biasa, ribuan jamaah yang hadir terlihat tertib dan disiplin tanpa komando siapapun.
Selepas acara tahlil, semua alumni saling menyapa dan saling menatap raut wajah. Tentu, banyak di antara alumni yang puluhan tahun belum sempat saling bersapa. Ada yang tiba-tiba memanggil saya, dengan tampilan wajah seolah sama sekali asing, seperti belum pernah kenal sebelumnya. Saya harus mengingat-ingat lama, bahkan harus saling mengenal kembali untuk membuka memori dan kenangan lama. Disinilah, identitas santri benar-benar menjadi pengingat ulang sebuah memori, dan kiai beserta almamater sebagai perekatnya.
Momentum Merekat Kenangan
Haru dan terkenang indah, ketika momentum perjuangan dapat terulang kembali. Mungkin sepintas tampak sekedar bertemu dan saling menyapa, tetapi nilai pertemuan itu yang sangat langka dan berarti. Setelah acara tahlil dari Kiai Muqsith Idris, kemudian dilanjutkan ke acara tahlil untuk Nyai Fairuzah Tsabit (putri K.H. Tsabit Khozin, Allahu Yarham). Nyai Fairuzah Tsabit, adalah salah satu pengasuh pondok pesantren Annuqayah putri, daerah Sabajarin yang juga wafat pada 16 Sya’ban 1446 hijriyah, bertepatan dengan Sabtu, 15 Februari 2025.
Walhasil, Annuqayah sungguh berduka sangat dalam, kehilangan dua figur panutan dan garda depan pesantren sekaligus, hanya berselang satu hari. Momentum itu memilukan di satu sisi, dan menjadi wasilah pertemuan semua para alumni yang penuh kehangatan, di sisi lain. Sore menjelang maghrib, semua alumni bergerak pelan menuju kendaraan masing-masing. Satu sama lain saling melepas rindu, berharap ada pertemuan kembali yang lebih indah. Saya serombongan alumni dari Pamekasan juga bersiap-siap pulang.
Tiba-tiba, ada seorang teman yang menghampiri. Dengan tulus dia mengajak singgah, untuk merekat kenangan indah lebih intim. Saya tanya, ternyata dia masih satu angkatan sekolah di Annuqayah, namun dia terlihat tampak lebih muda. Seorang teman yang saya maksud itu, adalah Achmad Mufris. Dia nyantri di Annuqayah daerah Lubangsa Selatan, di bawah pengasuh Kiai Ishomuddin, Allahu Yarham. Cak Wahib–ketua rombongan alumni dari Pamekasan–tanpa basa-basi langsung merespon dan memutuskan bersilaturahmi ke rumah Cak Mufris.
Sambutan Cak Mufris sangat gempita. Ia terlihat bergembira kedatangan teman-teman satu alumni. Ketinggian jiwa silaturahminya tidak diragukan, saya dan rombongan dikawal hingga sampai ke rumahnya di Desa Aeng Panas, Pragaan, Sumenep. Sebuah kehormatan yang sangat tinggi, berkesempatan saling bersilaturahmi. Kerinduan menjadi terobati. Masa-masa perjuangan di pesantren menjadi jejak langkah penuh arti. Ungkapan kisah saling menggembirakan satu sama lain, menjadi saksi perekat kenangan indah yang tak terlupakan.
Cak Mufris berprofesi sebagai seorang guru yang terampil dan senang berkarya. Dia ternyata juga seorang penulis, dan memiliki jejak digital cukup prestisius. Tempat tinggalnya dapat dikatakan di sebuah pelosok. Tepatnya di desa Aeng Panas, menuju ke rumahnya lumayan harus melewati kelokan-kelokan tajam dan terjal. Cak Umar sebagai driver rombongan sedikit terkaget-kaget mengendalikan mobil kijangnya yang harus melewati semak-semak, dan jalan naik-turun cukup curam. "Tempat tinggal boleh di pelosok desa, tetapi cita-cita harus tetap menjulang tinggi, setinggi langit". Itulah yang menjadi prinsip hidup Cak Mufris.
Akhirnya, Annuqayah memang sangat pantas dikenang, karena telah berhasil mencetak para alumni dengan beragam potensi dan talenta. Annuqayah dikenal sebagai pesantren besar yang dapat menyatukan dan mempersaudarakan. Bahkan kiprahnya melampaui dari sekedar tempat menimba ilmu, lebih dari itu ia hadir sebagai pelangsung ukhuwah yang dapat saling menguatkan dan meneguhkan.
*) Muhammad Zaini, Bertinggal di Jalan Ghazali, Jungcangcang, Pamekasan