Mewujudkan Pendidikan Futuristik, dan Menjawab Tantangan AI
*) Oleh Muhammad Zaini
Ahad, 20 Juli 2025, 21.31 Wib. Artikel
Pada tahun 2025, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) meluncurkan serangkaian program prioritas sebagai bagian dari transformasi pendidikan nasional. Dua di antara program strategis tersebut adalah Pengenalan Coding dan Artificial Intelligence (AI) bagi Siswa Sekolah dan Sistem Evaluasi Pembelajaran melalui Penerapan Tes Kemampuan Akademik (TKA). Kedua program ini bertujuan ingin menjawab tuntutan zaman di satu sisi, dan ingin merujuk pada landasan yuridis-filosofis serta historis-sosiologis yang kokoh di sisi lain. Di samping itu, tantangan dunia modern telah berhasil mengubah lanskap pendidikan Indonesia, yang menuntut generasi masa depan harus lebih adaptif, kreatif, dan kompetitif dengan dunia teknologi.
Revolusi Industri 4.0, dan kini bergerak menuju era Society 5.0, menggiring generasi muda ke arena kompetensi digital sejak dini. Pengenalan coding dan AI kepada siswa sekolah dasar saat ini, bukan lagi menjadi pilihan, melainkan sebuah keniscayaan. Coding melatih pola pikir logis, sistematis, dan problem-solving, sedangkan AI membuka wawasan baru, bagaimana teknologi mampu mengadopsi kecerdasan manusia untuk menjadi solusi dari setiap persoalan kompleks yang dihadapi.
Prof. Richard E. Mayer, pakar psikologi kognitif dari University of California berpandangan bahwa, “Pembelajaran berbasis teknologi seperti coding, memberikan pengalaman langsung yang mampu membentuk struktur kognitif anak secara lebih dalam dan tahan lama.” Dengan mengenalkan coding dan AI sejak dini, anak-anak diharapkan tidak sekadar menjadi pengguna konsumtif teknologi, melainkan juga sebagai pencipta inovasi pendidikan yang siap dengan tantangan masa depan.
Di Indonesia, kebijakan ini sejalan dengan visi Merdeka Belajar yang dicanangkan oleh Kemendikbudristek. Dalam visi tersebut, sekolah didorong untuk memberi ruang eksplorasi yang luas bagi siswa untuk mengembangkan kecakapan abad ke-21. Berpikir kritis, kolaboratif, komunikatif, dan kreatif, adalah deretan kompetensi yang dapat diperkuat melalui pembelajaran coding dan AI secara integratif. Secara yuridis, dasar penguatan pembelajaran teknologi dan AI dalam kurikulum sekolah termaktub dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya Pasal 3 yang menyebutkan bahwa pendidikan bertujuan mengembangkan potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Demikian pula ada akar historis yang melekat di dalamnya, bahwa bangsa Indonesia telah menunjukkan komitmen terhadap kemajuan pendidikan berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi sejak era reformasi pendidikan 1970-an. Hal itu diperkuat dengan masuknya mata pelajaran TIK, yang saat ini–seiring waktu–berkembang menjadi pelajaran Informatika, Coding, dan AI sebagai bagian dari muatan kurikulum Merdeka. Dalam aplikasinya, Coding dan AI tetap bertumpu pada nilai-nilai filosofis-humanistik dan ideologi pancasila, sehingga teknologi tidak semata-mata sebagai alat, melainkan menjadi bagian integral dari upaya meningkatkan kesejahteraan manusia.
Sementara itu, dari sisi sosiologis dunia anak-anak kini juga tidak bisa lepas dari kecenderungan muatan teknologi. Didukung sebuah survei yang dilakukan oleh We Are Social (2024), bahwa lebih dari 75% anak usia 8–12 tahun di Indonesia, sudah aktif menggunakan perangkat teknologi-digital. Kondisi itu, meniscayakan literasi digital sejak dini harus ditingkatkan, agar siswa tetap menjadi harapan penggerak dan arus utama perubahan, bukan menjadi korban era digital yang memilukan.
Pendidikan Indonesia Bermutu, Kenyataan atau Utopia
Dalam rangka memenuhi mandat konstitusional untuk menyediakan pendidikan yang bermutu bagi seluruh warga negara tanpa diskriminasi, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) melalui Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 9 Tahun 2025 tentang Tes Kemampuan Akademik (TKA). Peraturan tersebut, telah diundangkan pada tanggal 3 Juni 2025 dan menjadi momen penting dalam upaya penguatan sistem penilaian capaian akademik yang terstandar, objektif, dan inklusif di seluruh jenjang pendidikan dasar dan menengah.
TKA merupakan sistem evaluasi yang menekankan pada pengukuran kecakapan dasar siswa dalam berpikir kritis, bernalar logis, serta memahami konsep lintas mata pelajaran. Dalam konteks Program Prioritas 2025, TKA menjadi salah satu metode untuk menilai sejauh mana ketercapaian kompetensi siswa secara objektif dan merata. Pakar pendidikan dari Universitas Negeri Surabaya, Dr. Muchlas Samani mengatakan, bahwa “Sistem evaluasi seperti TKA, penting dijadikan alat pemetaan kemampuan siswa secara lebih adil dan menyeluruh, dengan menimbang proses berpikir dan kemampuan siswa dalam memecahkan masalah”.
Sistem evaluasi melalui sistem TKA, bagaimana juga diupayakan tidak saja berdasar pada hasil ujian akhir semata. Hal itu dapat menjadi pendorong bagi setiap satuan pendidikan untuk mengetahui keunggulan dan kelemahan siswa secara menyeluruh, baik dalam lingkup individu maupun kelompok. Dengan demikian, diharapkan ada dampak signifikan pada penyusunan program pembelajaran yang lebih tepat sasaran yang bersifat pengayaan, pendalaman, dan kebermaknaan.
Dalam aspek tertentu, dunia modern ditandai dengan ketergantungan tinggi terhadap teknologi, percepatan informasi, dan kebutuhan terhadap SDM yang adaptif dan fleksibel. Pada aspek lain, dunia pendidikan dituntut menyesuaikan dengan dinamika tersebut sebagai sebuah kebutuhan zaman. Karena itu, pandangan Klaus Schwab, pendiri World Economic Forum, sangat tepat yang mengemukakan “Kunci bertahan dalam era disrupsi adalah pendidikan yang berani berubah dan membekali siswa dengan keterampilan masa depan”.
Implementasi pengenalan coding dan AI serta penerapan TKA menjadi relevan, sebagai bentuk respon Kemendikdasmen terhadap tantangan tersebut, sehingga teknologi tidak dapat dielakkan. Hal penting dan sikap yang utama adalah menghadapi tantangan dunia modern dengan bekal keterampilan yang meniscayakan evaluasi akademik tidak dapat lagi bergantung pada hafalan dan repetisi serta aspek remedial, melainkan harus melibatkan pengukuran kemampuan melalui pola berpikir logis tingkat tinggi.
Itu pun tidak akan menutup kemungkinan adanya tantangan lain yang lebih nyata. Tantangan demi tantangan akan terus menghadirkan turunan baru. Seperti, kesenjangan infrastruktur antar daerah, kesiapan guru, serta adaptasi kurikulum menjadi isu yang perlu ditangani secara simultan. Hal ini memerlukan tindak lanjut pelatihan guru secara masif, penyediaan perangkat pendukung yang merata, serta penguatan kolaborasi antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat.
Karena itu, transformasi pendidikan melalui pengenalan coding dan AI serta sistem evaluasi TKA merupakan langkah strategis dan progresif dari Kemendikdasmen dalam menjawab kebutuhan dan tantangan zaman. Dengan landasan filosofis yang kuat serta dukungan dari para pakar dan praktisi pendidikan, program prioritas ini diharapkan mampu menjadi pendorong bagi lahirnya generasi emas Indonesia 2045 di masa depan. Mereka menjadi generasi hebat yang tidak utopis, melainkan mampu secara bijak dan cakap menggunakan teknologi yang berkontribusi positif terhadap kemaslahatan umat.
*) Muhammad Zaini, Guru Pendidikan Agama Islam, SD Negeri Candi Burung 2 Proppo, Pamekasan